BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Keadaan
sosial ekonomi Indonesia telah menunjukkan pada kita semua bahwa sebagian besar
aktivitas dunia usaha di Indonesia dewasa ini dilakukan oleh pelaku usaha yang
menyandarkan diri pada ketentuan Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Hal ini membuat kita harus mengakui bahwa beberapa bagian dari
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya yang mengatur
tentang kebendaan dan perikatan ternyata masih relevan bagi kehidupan dan
aktivitas ekonomi dewasa ini, meskipun dalam
praktik kehidupan masyarakat saat ini tumbuh dan berkembang kontrak
innominaat.
Secara
rinci pembagian atau penggolongan kontrak ada yang membagi berdasarkan
sumbernya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya maupun aspek larangannya. Di
dalam Pasal 1319 BW dan artikel 1355 NBW ditegaskan dua jenis kontrak menurut
namanya, yaitu kontrak nominat dan kontrak innominat. Kontrak nominat adalah
kontrak yang dikenal dalam BW misalnya sewa menyewa, persekutuan perdata,
hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, dan perdamaian. Sedangkan kontrak innominat adalah kontrak
yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, misalnya leasing, beli
sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan dan
production sharing.
Segala
sesuatu yang ada di dunia ini erat hubungannya satu sama lain. Antara manusia
dengan manusia, manusia dengan kelompok, manusia dengan masyarakat, dan bahkan
antara manusia masyarakat sesama manusia yang dunia sekalipun. Dalam makalah
ini akan membahas tentang kontrak innominat, yang di khususkan kepada
Franchise.
Dalam
hal ini pemakalah membawa kita kepada sebuah pemahaman yang lebih menantang,
dari pada kontarak-kontrak yang telah
diatur dalam BW. Adapun bentuk kontrak yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah kontrak innominat, tapi tidak semuanya, hanya salah satu dari beberapa
kontrak yang ada, yaitu kontrak tentang Franchise.
Adapun dalam makalah ini akan
membawa kita kepada sebuah contoh kasus yang akan member pehaman tentang
kontrak Franchise, secara singkat tetapi mudah dipahami, karena menggunakan
bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka kami menyimpulkan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa
saja yang menjadi ciri-ciri kontrak franchise ?
2. Apa
saja ruang lingkup kontrak franchise ?
3. Apa
saja teori yang mendukung tentang kontrak franchise ?
4. Bagaimana
cara beralihnya kontrak franchise ?
5. Bagaimana
penyelesaian sengketa kontrak franchise ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Ciri-Ciri Kontrak
Franchise
1. Konsep
bisnis yang menyeluruh dari franchisor
Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk
menjalankan bisnis secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari franchisor.
Franchisor akan mengembangkan suatu ‘cetak biru’ sebagai dasar pengelolaan
waralaba format bisnis tersebut
2. Adanya
proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis yang
sesuai dengan konsep franchisor.
Franchisee akan diberikan pelatihan mengenai metode
bisnis yang diperlukan untuk mengelola
bisnis sesuai dengan cetak biru yang telah dibuat oleh franchisor. Pelatihan
ini biasanya menyangkut pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode
pemasaran, penyiapan produk dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini
diharapkan franchisee menjadi ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk
menjalankan bisnis yang khusus tersebut.
3. Proses
bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak franchisor.
Franchisor akan terus menerus memberikan
berbagai jenis pelayanan, tergantung pada tipe format bisnis yang
diwaralabakan. Secara umum, proses ini dapat dikatakan sebagai proses pemberian
bantuan dan bimbingan yang terus menerus yang meliputi:
1) Kunjungan berkala franchisor kepada staf di
lapangan guna membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat menyebabkan kesulitan dagang
bagi franchisee;
2) Menghubungkan antara franchisor dengan
seluruh franchisee secara bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan
pengalaman;
3) Inovasi produk atau konsep, termasuk
penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan
bisnis yang ada;
4) Pelatihan dan fasilitas pelatihan kembali
untuk franchisee dan stafnya;
5) Melakukan riset pasar;
6) Iklan dan promosi pada tingkat local dan
nasional;
7) Peluang-peluang pembelian secara
besar-besaran;
8) Nasihat dan jasa manajemen dan akunting;
9) Penerbitan news letter;
10)
Riset mengenai materi, proses dan metode bisnis
2.2.Ruang Lingkup Kontrak
Franchise
Jika dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, kontrak
franchise berada antara kontrak lisensi dan distributor. Dengan adanya
pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada
pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsure
dari perjanjian lisensi, sedangkan di sisi lain adanya quality control dari
franchisor terhadap produk-produk pemegang lisesnsi yang harus sama dengan
produk-produk lisensor yang seakan-akan franchisor merupakan distributor.
Sebagaimana dalam kontrak lisensi, pada kontrak franchise
pemegang franchise wajib membayar sejumlah royalty untuk penggunaan merek
dagang dan proses pembuatan produk yang besarnya ditetapkan berdasarkan
perjanjian. Royalty kadang-kadang bukan dari persentase keuntungan melainkan
dari berapa unit.
Selain membayar royalty, pemegang franchise juga dikenakan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh franchisor untuk mendesain perusahaannya sedemikian rupa
sehingga menyerupai dengan desain franchisor. Berkaitan dengan manajemen,
franchisor memberikan asistensi dalam
hal manajeman kepada pemegang franchise yang dimana franchisor telah menetapkan
harga dan menarik tarif untuk asistensi tersebut. Berkaitan pembuatan produk,
pemegang franchise diwajibkan membeli bahan baku dari franchisor, hal ini
dilakukan demi quality control. Namun, di pihak lain melalui kontrak lisensi
maupun franchise diharapkan terjadinya alih teknologi antara
lisensor/franchisor terhadap license/franchise.
2.3.Teori yang Mendukung
Kontrak Franchise
Kontrak
Sosial: Hobbes
Hobbes menyatakan bahwa secara
kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat
atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan
mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan
kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia
adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati. Hobbes menegaskan pula bahwa
hasrat manusia itu tidaklah terbatas. Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang
tidak terbatas itu, manusia mempunyai power. Oleh karena setiap manusia
berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya
masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia,
yang meningkatkan keengganan untuk mati. Mengenai semua hal di atas, Hobbes
menulis sebagai berikut:
“So
that in the first place, I put for a generall inclination of all mankind, a
perpetuall and restlesse desire of Power after power, that ceaseth in Death.
And the cause of this, is not intensive delight, than he has already attained
to; or that he cannot with a moderate power: but because he cannot assure the
power and means to live well, which he hath present, without the acquisition of
more.” [Thomas Hobbes, Leviathan, Harmandsworth, Middlesex: Penguin Books Ltd.,
1651, cetak ulang tahun 1983, h. 161.]
Dengan demikian Hobbes menyatakan
bahwa dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas
manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman
dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.
Karena kondisi alamiah tidak aman,
maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi
perang-satu-dengan-lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan).
Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah
memasuki kondisi sipil. Caranya adalah masing-masing anggota masyarakat
mengadakan kesepakatan di antara mereka untuk melepaskan hak-hak mereka dan
menstransfer hak-hak itu kepada beberapa orang atau lembaga yang akan menjaga
kesepakatan itu agar terlaksana dengan sempurna. Untuk itu orang atau lembaga
itu harus diberi hak sepenuhnya untuk menggunakan semua kekuatan dari
masyarakat.
Beberapa orang atau lembaga itulah
yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga
keselamatan rakyat (the safety of the people) [Hobbes: hal. 376]. Masyarakat
sebagai pihak yang menyerahkan hak-hak mereka, tidak mempunyai hak lagi untuk
menarik kembali atau menuntut atau mempertanyakan kedaulatan penguasa, karena
pada prinsipnya penyerahan total kewenangan itu adalah pilihan paling masuk
akal dari upaya mereka untuk lepas dari kondisi perang-satu-dengan-lainnya yang
mengancam hidup mereka. Di lain pihak, pemegang kedaulatan mempunyai seluruh
hak untuk memerintah dan menjaga keselamatan yang diperintah itu. Pemegang
kedaulatan tidak bisa digugat, karena pemegang kedaulatan itu tidak terikat
kontrak dengan masyarakat. Jelasnya, yang mengadakan kontrak adalah masyarakat
sendiri, sehingga istilahnya adalah kontrak sosial, bukan kontrak antara
pemerintah dengan yang diperintah.
Kontrak
Sosial: Locke
Locke
memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan
lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri
manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia
lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar
prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar
dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut
Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam
kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang
teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa
yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian
muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang
dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang
terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh
dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum
alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi
sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan
itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.
Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang
yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti
halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi
yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan
kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial.
Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya,
akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan
masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling
kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True
Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London:
Oxford University Press, 1960, h. 84.]
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan
saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang
diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian
kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak
yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara
trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya
menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan
kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan
mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke
masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata
bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah
masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada
pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila
hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar
untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual
sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang
dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
2.4.Cara Berakhirnya
Kontrak Franchise.
Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya
sebuah kontrak yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
tentang sesuatu hal. Pihak kreditur adalah pihak atau orang yang berhak atas
suatu prestasi, sedangkan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi
prestasi. Sesuatu hal di sini bisa berarti segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh kedua pihak, bisa jual beli utang piutang, sewa-menyewa, dan
lain-lain.
Di dalam Rancangan Undang-Undang Kontrak telah ditentukan
tentang berakhirnya kontrak. Pengakhiran kontrak dalam rancangan itu diatur
dalam Pasal 7.3.1 sampai dengan Pasal 7.3.5. Ada lima hal yang diatur dalam
pasal tersebut, yaitu
1.
hak untuk mengakhiri kontrak,
2.
pemberitahuan pengakhiran,
3.
ketidakpelaksanaan yang sudah diantisipasi,
4.
jaminan yang memadai dari ketidakpelaksanaan tersebut, dan
5.
pengaruh dari pengakhiran secara umum.
Hak untuk mengakhiri kontrak diatur dalam Pasal 7.3.1.
yang berbunyi: "Suatu pihak dapat mengakhiri kontrak tersebut di mana
kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban sesuai dengan kontrak tersebut
mencapai pada tingkat ketidakpelaksanaan yang mendasar (Pasal 7.3.1 ayat (1).
Hal-hal yang harus dipertimbangkan untuk menentukan
kegagalan dalam melaksanakan suatu kewajiban pada tingkat ketidakpelaksanaan
yang mendasar, yaitu
1.
ketidakpelaksanaan tersebut pada prinsipnya telah menghilangkan hak dari pihak yang
dirugikan untuk mengharapkan apa yang menjadi haknya sesuai dengan kontrak
tersebut, kecuali pihak lainnya tidak menduga atau tidak dapat menduga atau
tidak dapat menduga secara layak hasil semacam itu;
2.
kesesuaian yang sangat ketat dengan kewajiban yang tidak dilaksanakan adalah penting
sesuai dengan kontrak tersebut;
3.
ketidakpelaksanaan tersebut telah dilakukan secara sengaja atau karena kecerobohan;
4.
ketidakpelaksanaan tersebut memberikan kepada pihak yang dirugikan alasan untuk
percaya bahwa pihak tersebut tidak dapat menyandarkan diri pada pelaksanaan di masa
yang akan datang dari pihak lainnya;
5.
pihak yang tidak dapat melaksanakan tersebut akan menderita kerugian yang tidak
proporsional sebagai persiapan dari pelaksanaan apabila kontral, diakhiri
(Pasal 7.3.1 Rancangan Undang-Undang Kontrak).
Setiap kontrak yang akan diakhiri
oleh salah satu pihak maka ia harus memberitahukannya kepada pihak lainnya
(Pasal 7.3.2 Rancangan Undang-Undang Kontrak).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional juga diatur secara rinci tentang berakhirnya
perjanjian internasional. Ada delapan cara berakhirnya perjanjian internasional,
yaitu:
l. terdapat kesepakatan para pihak
melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
2. tujuan perjanjian telah tercapai;
3. terdapat perubahan mendasar yang
mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
4. salah satu pihak tidak
melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian.
5. dibuat suatu perjanjian baru yang
menggantikan perjanjian lama;
6. muncul norma-norma baru dalam
hukum internasional;
7. objek perjanjian hilang;
8. terdapat hal-hal yang merugikan
kepentingan nasional (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional).
Di samping kedelapan cara
berakhirnya perjanjian internasional tersebut, di dalam Pasal 19 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 ditentukan berakhinya perjanjian sebelum jangka waktunya.
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa :
"Perjanjian
internasional berakhir sebelum waktunya, berdasarkan kesepakatan para pihak,
tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian
perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat berakhimyu pei janjian
tersebut."
2.5.Penyelesaian Sengketa
Kontrak Franchise
A. Jalur
Pengadilan
Proses di pengadilan ini pada umumnya akan diselesaikan
melalui usaha perdamaian oleh hakim pengadilan perdata. Perdamaian biasa
dilakukan diluar pengadilan. Kalau hal ini bisa tercapai, maka akibatnya
gugatan akan dicabut oleh penggugat dengan atau tanpa persetujuan tergugat.
Tetapi perdamaian pun dapat diselesaikan dimuka pengadilan. Akta perdamaian ini
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan vonis hakim.
Apabila jalan perdamaian tidak dapat diselesaikan oleh
para pihak, proses penyelesaiannya selanjutnya biasanya akan memakan waktu yang
panjang. Sebab tiga tingkatan proses pengadilan. Minimal akan dijalani sampai pada
proses final, yaitu memulai dari gugatan pengadilan negeri, proses banding ke pengadilan
tinggi, dan berakhir ke proses kasasi ke mahkamah agung. Kondisi demikian saat
ini masih sering terjadi di Indonesia. Artinya proses pengadilan yang
diharapkan menurut undang-undang dilaksanakan secara sederhana, ringan, dan
cepat, belum dapat terwujud.
B. Jalur
Arbitrase
Kata arbitrase sebenarnya berasal dari bahasa latin
arbitrare, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud tidaklah berarti tidak mengindahkan
norma – norma hukum dan semata – mata hanya bersandarkan kebijaksanaan saja.
Dengan kata lain, arbitrase adalah proses penyelesaian atau pemutusan sengketa
oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan
tunduk kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh para hakim yang mereka
pilih atau tunjuk.
Hukum arbitrase adalah bahwa menurut hukum dianggap wajar
apabila 2 orang atau pihak yang terlibat dalam suatu sengketa mengadakan
persetujuan dan mereka menunjuk seorang pihak ketiga yang mereka berikan
wewenang untuk memutuskan sengketa. Mereka pun berjanji untuk tunduk kepada
putusan yang akan diberikan oleh pihak ketiga tersebut. Para pihak dalam
perjanjian yang menghendaki agar penyelesaian sengketa yang timbul akan
diselesaikan dengan arbitrase, dapat mempergunakan salah satu dari 2 cara yang
dapat membuka jalan timbulnya perwasitan, yaitu :
a.
Dengan mencamtumkan klausul dalam perjanjian pokok, yang berisi bahwa
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan dengan peradilan
wasit. Cara ini disebut dengn pactum de compromittendo.
b.
Dengan suatu perjanjian tersendiri, di luar perjanjian pokok. Perjanjian ini
dibuat secara khusus bila telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian
pokok. Surat perjanjian semacam ini disebut “akta kompromis”.
Dengan
menggunakan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa, minimal ada 3
keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu:
1.Waktu
yang cepat
2.Adanya
orang – orang ahli
3.Rahasia
para pihak terjamin
Dalam
prakteknya ada 2 macam arbitrase, yaitu :
a.Arbitrase
ad-hocl voluntair
Arbitrase adholc/voluntair adalah suatu majelis wasit
atau wasit tunggal yang di dalam menjalankan tugasnya hanya sekali saja,
setelah itu bubarlah majelis arbiter atau wasittunggal itu. Selain tidak
mempunyai peraturan atau prosedur tentang tata cara pengangkatan arbiter,
mereka juga tidak mempunyai peraturan atau prosedur yang mengatur bagaimana
tata cara pemeriksaan sengketa.
b.Arbitrase
sebagai permanent body arbitration
Adalah suatu badan arbitrase yang mempunyai peraturan
atau prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa. Yang dimaksud dengan putusan
arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan
suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
RI diangap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkekuatan hukum tetap
sesuai dengan Kepres No. 34 Tahun 1981 Lembaga Negara Tahun 1981 No. 40 Tanggal
5 Agustus 1981 (pasal 2 Perma I Tahun 1990). Adapun syarat agar putusan
arbitrase asing dapat dilaksanakan adalah :
1.Putusan
itu dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan di suatu
Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama – sama dengan Negara
Indonesiaterikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta
pelaksanaan putusan arbitrase asing.
2.Putusan
tersebut terbatas pada ketentuan hukum Indonesia yang termasuk dalam ruang
lingkup hukum dagang.
3.Putusan
tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban hukum.
4.Putusan
tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequaturdari Mahkamah Agung.
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dalam perkembangan zaman, banyak hal
berubah dari segala hal, maupun dari cara pandang, cara hidup, bahkan
aturan-aturan barupun bermunculan, sehingga banyak hal yang berubah,
sehingga aturan yang mengaturpun ikut berubah. Namun dalam hal ini hanya
membahas bentuk kontrak diluar Kitab Undang-undang Perdata , yaitu franchise,
yang akan memberi wawasan yang sangat baik untuk perkembangan ilmu pendidikan
saat ini.
Dalam kontrak ini pun akan membawa
kita semua dalam hal yang baru, karena kontrak ini adalah kontrak yang
baru berkembang dalam dunia usaha. Dengan begitu makalah ini akan membimbing
kita semua kearah yang lebih modern dalam menjalani perjanjian sehai-hari.
Dengan contoh yang ada maka akan lebih mempermudah kita dalam mempelajari
kontrak ini.
3.2. Saran
Pada masa
saat sekarang dalam menjalani kehidupan tidak hanya terpaku dalam sebuah
permasalahan yang lama saja, seperti kontrak yang ada dalam BW saja, tapi
kontrak itu semua sudah berkembang secara pesat dalam masyarakat pada saat ini.
Maka dari
pada itu diharapkan kepada semua sarjana hokum agar dapat memahami
kontrak-kontark yang ada diluar dari hokum perdata yang diatur dalam BW.
DAFTAR PUSTAKA
·
Salim H.S, S.H, M.S, Perkembangan
Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), hal.166