Tugas
Sosiologi Hukum Nama : Muhammad Kausar
Nim : 100510095
1.
Istilah Sosiologi Hukum.
Istilah
Sosiologi hukum di Eropa Daratan adalah terjemahan dari istilah sociology
of law yang pertama kalidiperkenalkan oleh Roscoe Pound . Sementara di
Amerika diperkenalkan pula suatu istilah sociological jurisprudence
yang diterjemahkan sebagai sosiologi jurisprudenesi dan terkadang
diIndonesia dimaksudkan pula sebagai sosiologi hukum.
Sociology of Law dan Sociological
Jurisprudence meskipun terkadang keudanya diterjemahkan sebagai
sosiologi hukum, namun keduanya sangat berbeda. Sociology of law adalah tumbuh
di Eropa Daratan dan merupakan cabang sosiologi yang berusaha memahamai hukum
sebagai lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di mana
hukum itu berada. Sementara Sciological Jurisprudence adalah tumbuh di
Amerika Serikat dan merupakan cabang dari ilmu hukum yang mencoba menelaah
masalah praktis atau pelaksanaan ketertiban hukum dalam masyarakat.
2.
Pengertian Sosiologi hukum.
Menurut
Satjipto Rahardjo Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum
bukan dalam bentuk pasal undang-undang, melainkan hukum yang dijalankan
sehari-harinya atau tanmpak kenyataannya.
Menurut
Soerjono Soekanto Sosiolgi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang
antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal
untuk mentaati hukum tersebut, serta faktor-faktor social lain yang
mempengaruhinya.
3. Obyek
Sosiologi Hukum.
1) Hukum dan
sistem Sosial Masyarakat.
Obyek yang
disoroti di sini adalah keterkaitan atau pengaruh timbal balik antara hukum
pada satu sisi dengan system sosial pada sisi lainnya. Sistem hukum merupakan
pencerminan daripada suatu system sosial di mana system hukum tadi merupakan
bagiannya. Dalam hal ini perlu diteliti bagaimana sistem sosial mempengaruhi
suatu sistem hukum sebagai substansinya dan bagaimana pula sebaliknya.
2)
Persamaan-persamaan dan Perbedaan-perbedaan Sistem-Sistem Hukum.
Pembahasan di
bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk dapat mengetahui
apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal. Yang mendapat
perhatian adalah terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat yang terdiri dari berbagai sistem sosial dengan masing-masing
hukumnya. . Misalnya di Indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan
terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku di pelbagai daerah ataupun pelbagai
sistem hukum di dunia.
3). Sifat
Sistem Hukum yang Dualistis
Baik hukum
substantif maupun hukum ajektif, memiliki sifat-sifat yang dualistis. Satu segi
memberi perlindungan terhadp hak-hak manusia tapi segi lain hukum itu pula
merampas hak-hak tersebut. Hukum dapat meruntuhkan suatu kekuasaan tapi hukum
dapat pula menjadi alat potensial untuk mempertahankan kekuasaan.
4). Hukum
dan Kekuasaan.
Pembahasan
pada masalah ini menyoroti keterkaitan atau hubungan timbal balik antara hukum
dengan kekuasaan. Ditinjau dari ilmu politik, hukum merupakan suatu sarana dari
elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyak dipergunakan sebagai alat
mempertahankan kekuasaannya. Namun pada segi lain kekuasaan dapat pula
ditundukkan oleh hukum, kekuasaan diatur oleh hukum dan hukum memberikan
legitimasi adanya kekuasaan.
5). Hukum
dan Nilai-Nilai Sosial-Budaya.
Hukum tidak
terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat dan bahkan dapat
dikatakan hukum itu merupakan pencerminan dan kontruksi daripada nilai-nilai
yang pada suatu saat berlaku dalam masyarakat. Misalnya peraturan hukum
mengenai pemilihan langsung hal tersebut merupakan cerminan dari nilai-nilai
demograsi yang hidup dalam masyarakat.
6).
Kepastian Hukum dan Kesebandingan
Kepastian
hukum dan kesebandingan adalah dua tugas pokok daripada hukum. Walaupun
demikian, seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus
secara merata. Misalnya seperti ditegaskan oleh Max Weber yang membedakan substantive
rationality dan formal rationality . Dikatakannya sistem Hukum Barat
mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality,
artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan sperti itu
sering kali bertentangan dengan aspek-aspek dari subtantive rationality, yaitu
kesebandingan bagi warga-warga masyarakat secara individual.
7). Fungsi
Hukum dalam masyarakat.
- Ø Hukum
sebagai alat perubahan sosial(as a tool of social engeneering),
artinya hukum berfungsi menciptakan kondisi sosial yang baru, yaitu dengan
peraturan-peraturan hukum yang diciptakan dan dilaksanakan, terjadilah
social engineering, terjadilah perubahan sosial dari keadaan hidup yang
serba terbatas menuju ke kehidupan, hidup yang sejahtera atau keadaan
hidup yang lebih baik.
- Ø Hukum
sebagai alat mengecek benar tidaknya tingkah laku (as a tool of
justification). yakni sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya
sesuatu tingkah laku Dengan diketahuinya ciri-ciri kebenaran yang
dikehendaki oleh hukum, maka dengan cepatlah mudah terlihat apabila ada
sesuatu perbuatan yang menyimpang dari kebenaran itu.
- Ø Hukum
sebagai kontrol sosial (as a tool of social control)
yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu
terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
8).
Persoalan-persoalan lain yang menjadi obyek:
- a.
Pengadilan.
- b.
Efek Suatu Peraturan Perundang-undangan dalam Masyarakat.
- c.
Tertinggalnya Hukum di Belakang Perubahan-perubahan Sosial dalam
masyarakat
- d.
Proses sosialisasi dan pelembagaan hukum
- e.
Hubungan antara Para Penegak atau Pelaksana Hukum
- f.
Masalah Keadilan.
4. Kegunaan
Sosiologi Hukum.
Secara umum
kegunaan sosiologi adalah sebagai berikut :
- Sosiologi
hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap
hukum di dalam konteks sosial.
- Penguasaan
konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-kemampuan untuk
mengadakan analisis terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat, baik
sebagai sarana pengendalian sosial, srana untuk mengubah masyarakat dan
sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan
sosial tertentu.
- Sosiologi
hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan
evaluasi terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat.
Secara
terperinci kegunaan sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
1.
Pada taraf organisasi dalam masyarakat:
- Sosiologi
hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah yang mempengaruhi
perencanaan, pembentukan dan penegakakn hukum .
- Dapat
diidentifikasikannya unsur-unsur kebudayan manakah yang mempengaruhi isi
atau substansi hukum .
- Lembaga-lembaga
manakah yang sangat berpengaruh dalam pembentukan hukum dan penegakannya.
2. Pada
taraf golongan dalam masyarakat:
- Pengungakpan
golongan-golongan manakah yang sangat menentukan di dalam pembentukan dan
penerapan hukum.
- Golongan-golongan
manakah di dalam maysarakat yang beruntung atau sebaliknya malahan
dirugikan dengan adanya hukum-hukum tertentu.
- Kesadaran
hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam masayarakat.
- Pada
taraf individu:
- Identifikasi
terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah perikelakuan warga-warga
masyarakat.
- Kekuatan,
kemampuan dan kesungguhan hati dari para penegak hukum dalam melaksanakan
fungsinya.
- Kepatuhan
daripada warga-warga maysarakat terhadap hukum, baik yang berwujud
kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban hak-hak, maupun perilaku
yang teratur.
5.
Karakteristik Sosiologi hukum
Menurut
Satjipto Rahardjo ada tiga karakteristik sosiologi hukum yaitu :
a)
Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek
hukum. Apabila praktek itu dibeda-bedakan ke dalam pembuatan undang-undang,
penerapan dan pengadilan, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang
terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. Sosiologi hukum
berusaha untuk menjelaskan, mengapa praktek yang demikian itu terjadi, sebab-sebabnya,
factor-faktor apa yang mempengaruhi.
b)
Sosiologi hukum senantiasa mengujui keashihan empiris (empirical
validity) dari sautu peraturan atau pernyataan hukum. Pertanyaan yang bersifat
khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataan peraturan itu ?”, “apakah
kenyataannya memang seperti tertera pada bunyi peraturan ?”.
c)
Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingakah laku yang
mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan
yang setaraf. Ia tidak menilai yang satu lebih dari yang lain.
6. Pembagian
Sosiologi Hukum
- Sosiologi
Hukum Deskriptif,
Yaitu
sosiologi hukum yang mempelajari dan menjelaskan fakta-fakta hukum yang terjadi
di dalam masyarakat, baik pembentukan maupun pelaksanaannya, termasuk
pula menjelaskan bentuk-bentuk hukum tersebut.
- Sosiologi
Hukum Teoritik.
Yaitu
sosiologi hukum yang mempelajari tentang aliran-aliran dan teori-teori hukum
yang berkembang di dalam masyarakat.
Yaitu sosiologi
hukum yang melakukan analisis dan evaluasi terhadap keberlakuan hukum dalam
masyarakat. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan berlaku tidaknya suatu
hukum .
B.
ALIRAN-ALIRAN DALAM SOSIOLOGI HUKUM
1. Aliran
Formalistis/Teori Positivisme Hukum.
Dalam
bentuknya yang paling murni, maka positivisme hukum itu adalah aliran dalam
ilmu pengetahuan hukum, yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu
semata-mata “dari dirinya sendiri” dan menolak memberikan sedikit pun putusan
nilai mengenai peraturan hukum. (N. E. Algra dkk, 1977. hal 138).
Konsep Dasar
- Suatu
tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar kehidupan sosial,
bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa dan juga bukan karena hukum
alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya suatu instansi yang
berwenang.
- Hukum
harus dipandang semata-mata dalam bentuk formal, bentuk hukum formal
dipisahkan dari bentuk hukum material;
- Meskipun
isi hukum bertentangan dengan keadilan masyarakat hukum tersebut tetap
berlaku.
Kebaikan:
- Menjamin
adanya kepastian hukum
- Hukum
mudah ditemukan karena tertampung dalam undang-undang.
- Adanya
keseragaman undang-undang dan berlaku untuk semua orang.
- Adanya
pegangan/pedoman yang jelas bagi penegak hukum.
Kelemahan:
- Hukum
positif kadang-kadang tidak mampu untuk menghadapi suatu situasi di mana
hukum sendiri dijadikan alat ketidak adilan
- Hakim
sebagai corong undang-undang
- Pemikiran
hakim bersifat sillogismus
- Sulit
mengikuti perkembangan masyarakat.
aturan hukum
menjadi :
- Primary
Rules, yakni aturan pokok yang menentukan suatu perbuatan “ini
boleh” dan “ini tidak boleh dikerjakan”.
2.
Aliran/Teori Hukum Sejarah/Historis.
Teori atau mashhaf ini, mempunyai pendirian yang
sangat berbeda dengan aliran teori hukum posivtisme. Aliran ini justru
menekankan bahwa hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah
dan kebudayaan di mana hukum tersebut timbul. (Soerjono Soekanto. 1997. p. 33).
Menurut aliran ini, Pembentuk undang-undang
harus mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan
perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Demikianlah hukum tertulis
akan menjadi hukum yang diterima masyarakat sumber bahan hukum itu diambil, dan
terhadap siapa hukum itu kemudian diterapkan. Tanpa cara demikian undang-undang
senantiasa akan menjadi sumber persoalan, menghambat dan menghentikan
pembangunan, atau bahkan akan merusak kebiasaan hidup dan jiwa masyarakat. Hukum
adalah bagian dari rohani mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka.
sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan
tentang kebaisaan hidup masyarakt. Hukum tidak dapat dibentuk,
melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
5. Aliran
Hukum Realis-Pragmatis (Pragmatic Legal Realism).
Aliran ini memberikan perhatian terhadap penerapan
hukum dalam kehidupan masyarakat (bernegara). Hal terpenting bagi teori ini
adalah bagaimana hukum itu diterapkan dalam kenyataan, dan hukum yang
sebenarnya adalah hukum yang dijalankan itu. Hukum bukanlah apa yang tertulis
dengan indah dalam udnang-undang, melainkan adalah apa yang dialakukan oleh
aparat penyelenggara hukum, polisi, hakim. Atau siapa saja yang melakukan
fungsi pelaksana hukum (Lili Rasjidi. 1993. hal 85.)
Penekanan
penting yang diberikan oleh Aliran Hukum Realis adalah , Pertama,
esensi praktik hukum sebagai esensi senyatanya dari hukum. Kedua,
bahwa undang-undang bukanlah keharusan yang serta merta mampu
mewujudkan tujuan hukum, melainkan mendapat pengaruh besar dari unsur-unsur di
luar undang-undang.
Ketiga, aparatur
penyelenggara hukum dan masyarakat tempat hukum itu diterapkan bukanlah
komponen-komponen mekanis yang serta merta (secara otomatis) mentaati perintah
hukum, melainkan merupakan komponen-komponen kehidupan yang memiliki kemampuan
untuk menyampinginya.
C.
HASIL-HASIL PEMIKIRAN SOSIOLOGI TENTANG HUKUM.
1. Emil
Durkheim :
Durkheim
membagi 2 macam hukum, yaitu :
- Hukum
Represif, yaitu hukum yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi
mereka yang melanggar kaidah hukum yang bersangkutan. Sanksi kaidah hukum
tersebut menyangkut hari depan kehormatan seseorang warga masyarakat, atau
bahkan merampas kemerdekaan dan kenikmatan hidupnya .
- Hukum
Restitutif, yaitu hukum yang tujuan utamnya bukan mendatangkan
penderitaan, melainkan tujuan utamnya adalah untuk mengembalikan kaidah
pada situasi semula (pemulihan keadaan), sebelum terjadinya kegoncangan
sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum .
2. MaxWeber:
Teori Max
Weber tentang hukum dikemukakan empat tipe ideal dari hukum, yaitu :
- Hukum
irrasional dan material, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim
mendasarkan keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional
tanpa menunjuk pada suatu kaidah pun.
- Hukum
irrasional dan formal, yaitu di mana pembentuk undang-undang dan hakim
berpedoman pada kaidah-kaidah di luar akal, oleh karena didasarkan pada
wahyu atau ramalan.
- Hukum
rasional dan material, di mana keputusan-keputusan para pembentuk
undang-undang, dan hakim menunjuk pada suatu kitab suci,
kebijakasanaan-kebijaksanaan penguasa atau ideologi.
- Hukum
rasional dan formal yaitu di mana hukum dibentuk semata-mata atas dasar
konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum.
3. Philippe
Nonet dan Philip Selznick.
Mengemukakan
suatu teori mengenai tiga keadaan dasar hukum dalam masyarakat yakni :
- Hukum
Represif, yakni
hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif.
Perhatian paling utama hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau
diterapkannya tertib sosial, ketertiban umum, pertahanan otoritas, dan
penyelesaian pertikaian.
- b.
Hukum Otonom, yakni
hukum yang berorientasai pada pengawasan kekuasaan represif. Sifat-sifat
yang terpenting adalah ; Pertama, penekanan pada aturan-aturan
hukum sebagai upaya untuk mengawasi kekuasaan resmi; Kedua, Adanya
pengadilan yang dapat didatangi secara bebas, yang tidak dapat
dimanipulasi oleh kekausaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas
eksklusif untuk mengadili. Ketiga, penegakan atas kepatuhan hukum
terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai sarana
kontrol sosial.
- c.
Hukum Reponsif, yakni
hukum yang bertujuan melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang
dialami dan ditemukan, bukan oleh pejabat melainkan oleh rakyat.
Karakteristik yang menonjol adalah; pertama, pergeseran penekanan
dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan ; Kedua, pentingnya
kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
D.
KEBERLAKUAN KAIDAH HUKUM.
1.
Keberlakuan Faktual Atau Empiris.
Yang
dimaksud keberlakuan empiris yakni apabila para warga, dipandang secara umum,
berperilaku dengan mengacu pada keseluruhan kaidah hukum, atau dapat pula
dikatakan kaidah hukum itu efektif.
Keberlakuan
empirik suatu kaidah hukum dpat pula dalam suatu arti lain, yakni apabila
keseluruhan perangkat hukum secara umum oleh pejabat hukum yang berwenang
diterapkan dan ditegakkan. (J.J.H. Burggink. 1996)
2.
Keberlakuan Normatif Atau Formal kaidah Hukum.
Dapat
dikatakan keberlakuan normatif kaidah hukum apabila kaidah itu merupakan bagian
dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-kaidah hukum
itu saling menunjuk yang satu terhadap lain.
Sistem
kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah
hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum umum. Di dalamnya, kaidah
hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih
tinggi.
Suatu contoh
satu teori yang mencoba menjelaskan hukum dengan bantuan pengertian keberlakuan
normatif adalah “Reine Rechtslehre” Han Kelsen. Dalam hal ini Kelsen menyatakan
bahwa suatu kaidah hukum baru memiliki keberlakuannya jika kaidah itu
berlandaskan pada suatu kaidah hukum yang lebih tinggi. (Ibid)
3.
Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum.
Keberlakuan
evaluatif suatu kaidah hukum dapat dilihat dari dua segi. Pertama,
dari segi empirik jika kaidah hukum itu oleh seseorang atau masyarakat
jelas-jelas menyatakan menerima kaidah hukum itu.
Kedua, dari segi
filosofi, yakni jika kaidah hukum itu oleh seseorang atau
suatu masyarakat berdasarkan isinya dipandang bernilai atau penting.
Keberlakuan evaluatif yang kedua ini adalah sama dengan sifat mewajibkannya,
atau kekuatan mengikatnya atau juga obligatoritasnya (siat mewajibkan). Sebuah
kaidah hukum memiliki sifat ini berdasrkan isinya. Itulah sebabnya keberlakuan
ini disebut juga keberlakuan materiil. (Ibid)
E.
PENEMUAN/PEMBENTUKAN DAN PENEGAKAN HUKUM.
PEMBENTUKAN
HUKUM.
1.
Faktor-Faktor Yang mempengaruhi terbentuknya Hukum.
Faktor
eksternal, yakni
faktor-faktor yang berada diluar hukum itu sendiri misalnya :
v Faktor
ekonomi
v Faktor
kekuasaan
v Faktor
politik
v Faktor
budaya
v Faktor
agama
- Faktor
Internal, yakni
faktor yang berada di dalam hukum itu sendiri. Artinya adanya
kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan hukum itu sendiri yang
mengharuskan dibentuknya hukum tersebut.
Misalnya
:
v Perintah
UUD yang menghendaki adanya suatu undang-undang.
v Adanya UU
yang menghendaki peraturan pelaksananya.
v Adanya
kekosongan hukum .
3. Tahap
Pembentukan Hukum
Pertama
Tahap Inisiasi, Yaitu
tahap di mana munculnya gagasan dalam masyarakat tentang suatu persoalan yang
dirasakan penting dan merupakan suatu kebutuhan. Gagasan ini muncul berkaitan
dengan adanya kondisi atau suatu peristiwa yang menghendaki segera adanya
perangkat hukum yang mengaturnya.
Kedua
Tahap Socio-politik,adalah tahap
pematangan dan penajaman gagasan, di mana gagasan yang muncul diolah oleh
masyarakat melalui berbagai kegiatan, misalnya gagasan tersebut
dibicarakan , didiskusikan, dikritik, dipertahankan melalui pertukaran pendapat
antara berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat.
Ketiga
Tahap yuridis, Yaitu tahap
penyusunan bahan ke dalam rumusan hukum dan kemudian diundangkan. Tahap ini
telah melibatkan para tenaga ahli yang berpendidikan hukum .
- 4.
Struktur Pembuatan Hukum.
Jika mengikuti ajaran Montesquieu yang terkenal dengan
Trias Politika maka pembuatan hukum hanya diserahkan kepada satu badan yang
berdiri sendiri yang hanya melakukan satu kewenangan saja, misalnya badan
pembuat hukum. Badan inilah yang disebut badan legislatif yang terpisah dengan
badan yudikatif dan eksekutif. Kendati demikian tidak selamanya suatu praktek
perorganisasian yang mutlak berada di tangan legislatif, namun badan-badan
lainya dapat pula sebagai pembentuk hukum.
PENEGAKAN
HUKUM
1.
Pengertian Penegakan hukum
Penegakan
hukum adalah serangkaian kegiatan untuk menerapkan atau menjalankan
peraturan-peraturan hukum kedalam peristiwa-peristiwa yang kongkrit.
2. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum
a.
Faktor Undang-Undang.
Faktor ini
dapat mempengaruhi penegakan hukum jika memiliki landasan filosofis, yuridis
dan sosiologis.
b.
Faktor penegak hukum.
Faktor ini akan
menjadi berpengaruh positif jika penegak hukum itu memiliki integritas moral
dan menjadi teladan dalam kepatuhan hukum dan merasa bagian dari hukum itu
sendiri.
c.
Faktor sarana prasarana.
Faktor ini
adalah sarana untuk mencapai tujuan. Meskipun hanya sebagai faktor penunjang,
namun kehadirannya sangat mempengaruhi penegakan hukum itu. Semakin baik sarana
dan prasarana yang dimiliki akan memperlancar dan mempermudah penegakan hukum
itu.
d.
Faktor kesadaran hukum masyarakat.
Faktor Ini
mempengaruhui pula penegakan hukum, tinggi rendahnya kesadaran hukum masyarakat
sedikit banyak mempengaruhi berfungsinya hukum.
Indikasi
Kesadaran hukum :
- adanyapengetahuan
terhadap hukum;
- adanya
pemahaman tentang hukum;
- adanya
sikap positif;
- adanya
kepatuhan terhadap hukum.
D.
BERLAKUNYA HUKUM.
- A.
Teori-teori Berlakunya hukum.
1. Teori
Teorkrasi/Teori Ketuhanan.
Teori ini
menjelaskan bahwa hukum berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, manusia diperintahkan
Tuhan harus tunduk pada hukum. Oleh karena itulah maka berlakunya hukum adalah
atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
2. Teori
Kedaulatan Rakyat.
Menurut
teori ini hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan
kepada suatu organisasi (yaitu Negara) yang telah lebih dahulu mereka bentuk
dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Orang mentaati
hukum , karena orang sudah berjanji mentaatinya . Teori ini dapat juga disebut
Teori perjanjian Masyarakat.
3. Teori
Kedaulatan Negara
Teori ini
mengatakan bahwa kekuasaan hukum tidak dapat didasarkan atas kemauaan bersama
seluruh anggota masyarakat. Hukum adalah kehendak Negara dan Negara itu
mempunyai kekuasaan (power) yang tidak terbatas. Oleh karena itu hukum itu
ditaati ialah karena negaralah yang menghendakinya.
Penganjur
Teori ini adalah hans Kelsen dalam buku “Reine Rechtslehre” mengatakan, bahwa
hukum itu ialah tidak lain daripada “kemauan Negara”. Namun demikian Hans
Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara
menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib
menataatinya sebagai perintah Negara.
4. Teori
Kedaulatan Hukum.
Pelopor
teori ini adalah Prof. Mr. H. Krabbe. Beliau mengajarkan, bahwa sumber hukum
ialah “rasa keadilan”. Menurutnya hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa
keadilan dari orang banyak yang ditundukkan padanya,. Suatu
peraturan-perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah
terbanyak orang, tidak dapat mengikat. Peraturan-peraturan yang demikian
bukanlah “hukum”. Berdasarkan teori ini orang mematuhi hukum karena hal itu
berarti telah memenuhi rasa keadilan dari orang banyak yang ditundukkan padanya
oleh hukum itu sendiri.
A.
Syarat-Syarat Berlakunya hukum.
1. Syarat berlakunya secara yuridis, yaitu apabila penentuannya
didasarkan pada kaedah lebih tinggi tingkatannya atau bila berbentuk menurut
cara yang telah ditetapkan.
2. Syarat berlakunya secara sosiologis, yaitu apabila peraturan hukum
tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walapun tidak diterima oleh
warga masyarakat (teori kekuasaan) atau hukum itu berlaku karena diterima dan
diakui oleh masyarakat .
3. Syarat berlakunya secara filosofis, yaitu bahwa hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.