Nama : Muhammad Reza Mukti Tugas Mitem
NIM : 100510012 Membuat Uraian
Mata
Kuliah : Hukum Penanaman Modal
PENYELESAIAN
SENGKETA PENANAMAN MODAL
Pada
prinsipnya, investor yang menanamkan investasi selalu mengharapkan bahwa
investasi yang ditanamkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya tanpa
menimbulkan sengketa/konflik. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa di dalam menjalankan usahanya
tidak tertutup kemungkinan terjadinya suatu sengketa/konflik antara investor
dengan pemerintah serta masyarakat sekitarnya.
Apabila kita perhatikan pengertian
penanaman modal yang
termuat dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, dapat sangat jelas dilihat bahwa investor yang
menanamkan modalnya di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu investor
domestik dan investor asing.
Maka yang
menjadi pertanyaan kini
adalah hukum dan
cara apakah yang digunakan untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak pemerintah,
terlebih mengingat bahwa investor yang menanamkan modalnya di Indonesia dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu investor domestik dan investor asing. Dimana
pembagian jenis investor
tersebut tentunya membawa
perbedaan dalam hukum dan cara yang digunakan untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi antara investor dengan pihak pemerintah. Oleh karena
itu, penyelesaian sengketa penanaman modal tersebut dapat
dibagi menjadi:
1)
Penyelesaian Sengketa
Penanaman Modal yang timbul antara Pemerintah dengan Investor Domestik.
Apabila sengketa yang terjadi antara
investor domestik dengan pihak Pemerintah
Indonesia dan masyarakat
sekitarnya, hukum yang
digunakan adalah hukum Indonesia.
Dalam
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah
ditentukan cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman modal antara
pemerintah dengan investor domestik. Dalam ketentuan itu, ditentukan empat cara
dalam penyelesaian sengketa dalam penanaman modal. Keempat cara itu, antara
lain:
1)
Musyawarah
dan mufakat;
Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan
cara untuk mengakhiri sengketa yang
timbul antara pemerintah
dengan investor domestik, dimana di dalam penyelesaian itu
dilakukan pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai
keputusan dan kesepakatan
atas penyelesaian sengketa
secara bersama-sama.
2)
Arbitrase;
Penyelesaian
sengketa melalui lembaga
arbitrase merupakan cara
untuk mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara pemerintah
Indonesia dengan investor domestik, dimana dalam penyelesaian sengketa itu
menggunakan jasa arbiter atau majelis arbiter. Arbiter atau majelis arbiterlah
yang menyelesaikan sengketa penanaman modal tersebut.
3)
Alternatif
penyelesaian sengketa; dan
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
antara pemerintah Indonesia dengan investor domestik, yaitu penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian
ahli. Ada lima
cara penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu:
1) konsultasi;
2) negosiasi;
3)
mediasi;
4)
konsiliasi;
5)
penilaian ahli.
4)
Pengadilan.
Penyelesaian
sengeta melalui pengadilan merupakan cara untuk mengakhiri sengketa yang
timbul antar penyelesaian itu
dilakukan di muka dan dihadapan pengadilan. Dan pengadilan lah yang nantinya
akan memutuskan tentang
perselisihan tersebut. Ada tiga
tingkatan pengadilan yang harus diikuti oleh salah satu pihak, apakah
pemerintah Indonesia atau investor domestik, yaitu Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2) Penyelesaian Sengketa Penanam Modal yang
Timbul Antara Pemerintah dengan Investor Asing .
Dalam Pasal
32 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dikatakan bahwa:
“Dalam
hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam
modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase
internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional merupakan cara untuk mengakhiri
perselisihan yang timbul antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing,
dimana kedua belah pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia.
Dalam
rangka penyelesaian sengketa oleh arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang
berlaku dan yang menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan
sengketa tersebut adalah hukum yang
dipilih oleh para pihak.
Republik Indonesia
meratifikasi Konvensi ICSID
dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan
atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai
penanaman modal. Undang-undang ini
singkat saja, hanya berisi 5 Pasal 125. Dengan
telah diratifikasinya konvensi
tersebut, secara yuridis
Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
konvensi tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian
sengketa penanaman modal asing akan dilakukan
menurut tata cara
dan prosedur yang
diatur dalam International
Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID).
International Centre for the Settlement of
Investment Dispute (ICSID) terdiri atas 9 bab (chapter) dan 75 pasal
(artikel). Hal-hal yang diatur dalam ICSID ini, meliputi:
a) Chapter
I International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID)
(Artikel 1 sampai dengan Artikel 24);
b) Chapter
II Jurisdiction of the Centre (Artikel 25 sampai dengan Artikel 27);
c) Chapter III Conciliation
(Artikel 28 sampai dengan Artikel 35);
d) Chapter IV Arbitration
(Artikel 36 sampai dengan Artikel 55);
e) Chapter V Replacement
and Disqualification of
Conciliators and Arbitrator (Artikel 56 sampai dengan
Artikel 58);
f) Chapter VI Cost of Procedings (Artikel
59 sampai dengan Artikel 63);
g) Chapter
VII Disputes between Contracting States (Artikel 64);
h) Chapter VIII Amandment
(Artikel 65 sampai dengan Artikel 66);
i) Chapter
IX Final Provisions (Artikel 67 sampai dengan Artikel 75)
Penyelesaian
dengan menggunakan arbitrase diatur dalam Artikel 36 sampai dengan Artikel 55
ICSID. Sementara itu, tata cara pengajuan permohonan sampai dengan pengambilan
putusan disajikan berikut ini:
1) Tata Cara Pengajuan Permohonan Arbitrase
Dalam
Artikel 36 ICSID telah ditentukan tata cara pengajuan permohonan penyelesaian
sengketa kepada Centre, melalui forum Arbitrase (Arbitral tribunals). Dalam
ketentuan itu, ditentukan tata cara sebagai berikut:
i. Pengajuan
permohonan disampaikan
kepada Sekretaris Jenderal
Dewan Administratif Centre.
ii. Permohonan diajukan secara tertulis,
iii. Permohonan membuat penjelasan tentang:
ü
pokok-pokok perselisihan;
ü identitas para pihak; dan
ü
mengenai adanya persetujuan mereka mengajukan perselisihan yang timbul
menurut ketentuan Centre.
Setelah
menerima permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal mendaftar permohonan, kecuali
dia menemukan dalam
penjelasan permohonan bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada
di luar yuridiksi Centre. Dalam hal perselisihan yang
diajukan berada di
luar yuridiksi Centre,
Sekretaris Jenderal menolak untuk
mendaftar. Untuk itu,
Sekretaris Jenderal membuat
dan menyampaikan penolakan dalam
bentuk “pemberitahuan” atau notice
kepada para pihak. Dalam permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah
didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “pemberitahuan” kepada para
pihak dan salinan permohonan kepada pihak lain.
2) Pembentukan Tribunal Arbitrase
Apabila
Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar permohonan perselisihan yang
diajukan salah satu
pihak, Centre harus
sesegera mungkin membentuk
Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitral).Menurut Artikel 37 ayat (2) ICSID, telah
ditentukan pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre. Mahkamah
Arbitrase:
a) boleh hanya terdiri dari seorang arbiter
(arbitrator) saja;
b) tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari
beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any uneven number of arbitrator).
Jika
para pihak menyetujui jumlah arbiter yang ditunjuk atau mereka tidak dapat
menerima tata cara penunjukkan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan
arbiter merujuk kepada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf b ICSID, dengan
acuan penerapan:
a) anggota harus terdiri dari tiga orang
arbiter;
b) masing-masing menunjuk seorang arbiter;
dan
c) anggota yang ketiga ini, langsung mutlak
menjadi ketua (presiden) dari tribunal arbitrase yang bersangkutan.
Para
pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak
apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode dan
tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam hal yang demikian,
pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya menjadi hak dan kewenangan para pihak
untuk mengangkat masing-masing seorang arbiter. Sementara itu,
pengangkatan atau penunjukan arbiter
ketiga harus atas persetujuan bersama dari semua pihak. Dan anggota yang ketiga
ini langsung akan bertindak sebagai Ketua (Presiden).
Selanjutnya menurut
Artikel 38 ICSID, apabila
dalam tempo 90 hari dari tanggal
pemberitahuan pendaftaran permohonan
tribunal arbitrase belum dibentuk, Ketua
Dewan Administratif Centre
(Chairman of
the Administratif Council) berwenang menunjuk
seorang atau beberapa
orang arbiter. Kewenangan
yang demikian ada pada diri
Ketua Dewan Administratif apabila telah ada permohonan dari salah satu
pihak. Di samping itu, kewenangan penunjukkan arbiter yang seperti itu tidak
boleh diambil dari negara peserta konvensi yang sedang berselisih.
Satu
hal lagi yang perlu diketahui dalam
komposisi anggota arbiter, yaitu mayoritas anggota arbitrase
harus ditunjuk dari luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal
itu ditegaskan dalam Artikel 39 Konvensi. Namun demikian, ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila
para pihak menyetujui bahwa
arbiter tunggal ditunjuk dari salah
satu negara para
pihak atau mereka
setuju mayoritas anggota arbiter
dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.
3) Kewenangan dan Fungsi Tribunal Arbitrase
Arbitrase
Centre merupakan mahkamah yang bersifat internasional. Kewenangan dari
Arbitrase Centre adalah untuk mengadili atau memutus perselisihan sesuai dengan
kompetensinya (Artikel 40 ICSID). Berarti, selama apa yang disengketakan para
pihak masih termasauk yuridiksi yang
ditentukan Pasal 32 dan Artikel 25 ICSID. Para anggota arbiter sepenuhnya
berwenang untuk memutus perselisihan.
Dalam
hal ada bantahan (objection) dari salah satu pihak yang menyatakan apa yang
diperselisihkan adalah diluar yuridiksi Centre atau berdasar alasan lain yang
memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan tribunal arbitrase
yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan lebih dahulu mempertimbangkan dan
memutus tentang hal tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (preliminary).
Akan tetapi, bisa juga hal
itu dipertimbangkan dan
diputus bersamaan dengan
pokok persengketaan apabila tata cara yang demikian lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan
kewenangan dan fungsi
memutus perselisihan yang terjadi, lebih lanjut diuraikan dalam
hal-hal di bawah ini:
a) Memutus sengketa menurut hukum
Menurut Artikel
42 Konvensi, arbitrase
Centre terikat pada
ketentuan hukum (rules of law)
dalam memutus perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan patokan utama
yang acuan penerapannya
dapat dijabarkan secara
ringkas, sebagai berikut:
ü
Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah disepakati para pihak
dalam perjanjian.
ü
Dalam perjanjian tidak menentukan tata hukum mana yang akan diterapkan,
Centre menerapkan tata hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
ü
Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal oleh para
pihak-pihak yang berselisih.
ü
Akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar “kepatutan” atau
“ex aequo et bono”, jika hal itu
disepakati para pihak dalam perjanjian.
b) Memanggil dan melakukan pemeriksaan
setempat
Dalam
Artikel 43 ICSID telah ditentukan kewenangan Tribunal. Kewenangan itu meliputi:
ü
memanggil atau meminta pihak-pihak untuk menyerahkan dokumen atau alat
bukti yang dianggap penting,
ü melakukan
pemeriksaan setempat atau memeriksa langsung
barang, orang, serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap patut dan bermanfaat dalam penyelesaian
perselisihan. Kewenangan itu akan gugur jika hal para pihak menentukan lain
dalam perjanjian.
ü
Putusan Provisi
Dalam Artikel 47 ICSID telah
ditentukan kewenangan dari Centre. Kewenangan itu adalah menjatuhkan:
1) putusan pendahuluan; atau
2) putusan provisi; maupun
3) tindakan sementara.
Penjatuhan
putusan itu didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi dan menghormati hak
dan kepentingan salah satu pihak. Dalam tindakan atau putusan sementara, dapat
dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan, agar gugatannya tidak
mengalami illusoir dikemudian
hari. Bisa juga
pelarangan penjualan atau pemindahan
barang, asalkan itu
merupakan objek yang
langsung terlibat dalam persetujuan.
4) Putusan Arbitrase Centre
Tujuan utama
arbitrase Centre ialah
memutus perselisihan yang
timbul apabila perselisihan itu telah
diajukan kepadanya. Dalam
Artikel 48 ICSID telah ditentukan tata cara pengambilan putusan.
Tata cara pengambilan
keputusan oleh Arbitrase Centre
disajikan berikut ini
a) Putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter.
b) Putusan arbiter yang sah ialah:
ü
dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
ü
ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan.
ü
Putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang
menyangkut dasar pertimbangan putusan.
c) Setiap
anggota arbiter dibenarkan mencantumkan
pendapat pribadi (individual opinion) dalam putusan, meskipun
pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat mayoritas anggota.
Bahkan, boleh juga seorang anggota mencantumkan suatu
pernyataan mengapa dia
berbeda pendapat dengan mayoritas anggota arbiter.
d) Centre tidak boleh memublikasi putusan,
tanpa persetujuan para pihak.
Selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera
mengirimkan salinan putusan kepada para
pihak. Putusan dianggap memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari
tanggal pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari dari tanggal
dimaksud, para pihak
dapat mengajukan pertanyaan
yang berkenaan dengan kesalahan pengetikan, perhitungan
atau kekeliruan lain yang sejenis. Walaupun putusan itu telah diputuskan oleh
Centre, namun para pihak atau salah satu pihak diperkenankan melakukan:
a) interprestasi putusan;
b) revisi putusan; atau
c) pembatalan putusan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Salim
H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008),
Ø Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Psl. 32 ayat (4).
Ø Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32
Tahun 1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian
perselisihan antara negara dan warga
negara asing mengenai penanaman modal
Undang-Undang
Penanaman Modal, Psl. 32 ayat (4).